Saat Menghadapi Wajib Pajak Lelet
It is not the big that eats the small
It is the fast that eats the slow
(Chinese proverb)
It is the fast that eats the slow
(Chinese proverb)
Sebenarnya masa tetap berputar dalam periode yang sama. Satu hari, dari dulu sampai sekarang, tetap 24 jam. Satu minggu tetap 7 hari. Yang berbeda adalah perubahan. Perubahan berganti lebih cepat dari sebelumnya. Tidak mengikuti perubahan, berarti tertinggal. Dulu, memakai Lotus, sekarang harus Excel. Dulu, Excel 2003, sekarang mesti Excel 2007. Tak ayal, kita harus cepat beradaptasi dengan perubahan. Jadi, kata kuncinya adalah : kecepatan.
Dulu, image birokrat adalah lamban. Namun, sekarang birokrasi tengah berbenah. Saya tidak ingin membicarakan instansi lain. Saya hanya ingin bercerita tentang instansi tempat saya bekerja. Bukannya narsis, tapi di sini, kami harus bergerak lincah. Tenggat yang ketat dan monitoring yang lekat, memaksa kami harus mengalir cepat.
Sekali lagi, bukannya ujub, kami harus membiasakan diri datang benar-benar tepat waktu. Telat sedetik menempelkan jari di mesin absensi finger print, penghasilan bulan ini harus direlakan berkurang. Demikian pula saat pulang. Jam kerja di kantor dari pukul 07.30 sampai 17.00. Tidak hadir ? Potongannya jauh lebih besar lagi. Tidak heran, bila menjelang pukul 07.30, kita bisa saksikan birokrat yang dulu lamban itu, sudah ada di tempat kerjanya masing-masing. Padahal banyak di antara mereka yang tinggal di luar Jakarta, semacam Serpong, Bekasi, Tangerang atau Bogor.
Kami harus menyelesaikan tugas tepat waktu. Bila tidak, sanksi sudah menanti. Tiap tugas ada prosedurnya, dan tiap prosedur ada tenggatnya. Kami harus cermat memanage waktu agar tidak keluar dari tenggat. Jumlah penugasan luar biasa banyaknya, sehingga trainer dari IMF pun gelengkan kepala, tanda tak percaya. Semua ini membuat kami terbiasa bekerja dengan ritme yang cepat.
Tak jarang, saya malah harus membiasakan Wajib Pajak yang saya audit untuk tidak lelet dan tidak lambat. Terkadang mereka janji datang hari ini, ternyata luput. Jawaban atas pertanyaan yang diberikan, terlalu berlarut-larut. Dokumen yang diminta untuk dipinjamkan, sudah berganti minggu tidak diberi. Menghadapi Wajib Pajak seperti ini, saya terpaksa harus bawel dan cerewet. Mengingatkan mereka, menanyakannya berkali-kali. Kebanyakan dari mereka akhirnya mengerti dan berusaha mengikuti irama kerja saya. Tidak terasa, kerja cepat sudah melekat jadi habit.
Saat Menghadapi Wajib Pajak Lelet
Reviewed by ahmad muzaini
on
Friday, October 05, 2007
Rating:
3 comments:
Saya pembantu WP di Bali (saya Financial Controller-nya), Sedang menghadapi pemeriksaan dari Kantor Pemeriksa dan Penyidikan Pajak Wilayaha Bali & Nusra... (sejak sebulan yang lalu).
Alasan pemeriksaan... rada lucu tapi bisa dimengerti, "Perusahaan anda meleporkan kelebihan PPn, Padahal di SPT Ps. 29 2006 anda nyatakan perusahaan merugi".
Saya Katakan itu lucu, sebab untuk perusahaan export (seperti perusahaan kami), PPn Penjualan Pasti 0, sedangkan kami ada Pembelian Bahan Baku yang ber-PPn Masukan. Wajar dong kalau ada kelebihan PPn?. Penggunaan Bahan Baku (yang ber PPn Masukan) tidak selalu menghasilkan keuntungan...adakalanya rugi. So KHUSUS UNTUK perusahaan export bisa dibilang tidak ada koneksitas yang langsung antara PPn dengan Profit (menurut saya).
Saya katakan bisa saya mengerti sebab wajar kalau pemerintah perlu investigate, sebelum re-confirm bahwa pemerintah ada liabilities kepada WP.
Kaitannya dengan topik bapak di sini...
Saat ini saya sengaja "mengulur waktu", saya tidak serta merta meresponse dengan antusias atas pemeriksaan itu.
Saya & staff saya di accounting & finance tidak menempatkan pemeriksaan ini sbg "top periority". Ada banyak task penting yang jauh lebih mendesak, yaitu membuat perusahaan semakin efesien, melakukan control yang semakin efektif, dsb.
Prinsip kami, jika mereka (tax officer) mau menemukan sesuatu, mereka harus bekerja keras. Tidak berharap kami yang harus menyediakan segala sesuatunya untuk kelancaran periority mereka.
Semoga komentara saya ini, bisa menjadi bahan masukan, sudut pandang yang berbeda dari sisi WP.
Terakhir... Jika bapak berkomentar, kita bisa sharing bersama ya pak untuk kasus2 lain... terutamanya di perpajakan...
Silahkan mampir di blog saya di http://putra-finance-accounting-taxation.blogspot.com
Sukses selalu pak :)
dari Bali.
wah komentarnya pak putra ini mantap, dia menganggap bahwa haknya WP untuk tidak memberikan data, dan merupakan kewajiban fiskus untuk menemukan data tersebut, ini mungkin hal baru, soalnya setahu saya, di negara lain pun WP wajib untuk memberikan data yang diminta oleh fiskus untuk menjelaskan transaksi yang telah dia lakukan, kemudian baru fiskus meng cross check data tersebut dengan data yang dimiliki oleh fiskus.
Betul pak ferry...., dalam surat pemberitahuan pemeriksaan jelas disebutkan bahwa fiskus "wajib" menyediakan data-data yang diminta. Tentunya saya sediakan lengkap, termasuk memberikan akses seluas2nya terhadap data yang ada. Hanya saja, saya tidak focus hanya melayani pemeriksaan saja. Saya lapor, saya sediakan data, silahkan di cross check, diolah, di investiagte sendiri... begitu loch pak... hehehe :)
Post a Comment